Tegang… bukan bingung, mungkin karena pertama kalinya menginjakkan kaki di kota lain seorang diri. Itu yang aku rasaian pertama kali, dengan hanya bermodal niat, dan untuk gambaran bagaimana kota Kediripun aku tidak ada bayangan sedikitpun. Untungnya ada temen yang mau ngebimbing meskipun Cuma by phone, tapi cukup membantu, thank yak…
Aneh, dan mungkin agak ada penyesalan untuk pengalaman pertamaku. Pengalaman pertama interview yang GJ (Gak Jelas), yang Cuma datang tanpa ditanya apapun, Cuma ngisi biodata aja.. Cuma gitu?? Kenapa gak sekalian test, kenapa konfirmasi awal bilangnya undangan interview, kalo ini ma Cuma ngisi biodata, and ntar aku harus balik lagi ke Kediri. Capek dech… jauh-jauh perjalanan 5 jam Cuma ketemu ma orang 15 menit.
Sebel.. dan itu yang ngebuat, langkahku ku paksa mengayun kearah stasiun, dan melupakan rencana awal untuk sekedar menikmati kota Kediri, dan inipula pengalaman pertamaku memilih kereta sebagai teman menuju kotaku, bingung juga tapi sekali lagi nekat.. finally, sampai juga di Malang. Pengalaman pertama yang… (!#*%!&?!?) pertama kalinya interview seGJ ini, pertama kali tegang dalam perjalanan, pertama kali perjalanan singkat Cuma 30 menit di Kediri, dan musti menghabiskan 9 jam di kendaraaan umum, pertama kali naek kereta, Ualah…
Senin, Mei 04, 2009
Sabtu, Mei 02, 2009
Lho Kok?
Kemaren, waktu pulang dari luar kota..
Sepi… kata yang pas untuk mencerminkan kondisi terminal bus Arjosari saat itu, entah karena hari itu bukan weekend alias hari kerja ato memang udah ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang menjadikan mereka sudah tidak menggunakan sarana transportasi umum (semoga aja pilihan ini yang bener..) yang jelas, begitu memasuki loket peron hanya terlihat petugas yang agak lenggang menjalankan tugasnya dan hanya beberapa bus yang berjajar, keadaan yang beda banget saat melewati koridor teminal saat usiaku 10 tahun.
Keadaan yang sama saat kali kedua di hari yang sama pula, masih sepi.. bukan hanya wilayah bus, tapi juga wilayah teritorial angkot, berjajar puluhan angkot dengan jurusan yang berbeda tersaji dengan cepat ditemani dengan teriakan para makelar. Dan rasa letih yang mulai menemaniku, membuatku tidak sanggup berpikir panjang dan akhirnya aku putuskan untuk menumpang pada angkot jurusan terminal gadang.
10 menit, 20 menit, hingga akhirnya 30 menitan angkot menduduki tempat yang sama. Dan tiba-tiba nampak angkot bergeser, finally jalan juga ni angkot.. Dengan kecepatan wajar angkot pun melaju meninggalkan terminal, hingga ada salah satu penumpang yang menghentikan lajunya. Dan wow… saat penumpang itu turun, ada hal yang membuat serentak seluruh isi angkot terngangah..
Sang supir angkot mengharuskan penumpang itu buat merogoh koceknya lagi, karena bukan ruang sebesar 2500 rupiah yang harus disodorkan seperti biasa tapi nominal 3000 yang dilontarkan oleh sang supir. “Lho kok?” gumam seluruh penumpang dan sang supir hanya nyeletuk “iya mas, soalnya ini tadi antrian”.
Gampang banget pembelaannya, but mulai kapan kayak gini? Dan yang lebih parah ongkos antar terminal yang seharusnya udah ditetapin sama dinas perhubungan dan organda sebesar 2300 perak untuk rute jauh-dekat, membengkak jadi 5000 perak. Sejak kapan kayak gini? And siapa yang nentuin kayak gini?
Ualah ya udah lah.. bukan berarti karena uang segitu, bisa ribut panjang kan? Tapi buat pelajaran aja, bagi supir untuk lebih melihat sekelilingnya dan juga bagi penumpang untuk lebih selektif untuk memilih angkutan umum (gak ada salahnya juga jalan sedikit di ujung pintu keluar terminal, memilih angkot yang wajar aja, Ada untungnya kok selain ongkos normal, juga gak harus nunggu lama-lama). Sekali lagi, Cuma buat renungan aja…
Sepi… kata yang pas untuk mencerminkan kondisi terminal bus Arjosari saat itu, entah karena hari itu bukan weekend alias hari kerja ato memang udah ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang menjadikan mereka sudah tidak menggunakan sarana transportasi umum (semoga aja pilihan ini yang bener..) yang jelas, begitu memasuki loket peron hanya terlihat petugas yang agak lenggang menjalankan tugasnya dan hanya beberapa bus yang berjajar, keadaan yang beda banget saat melewati koridor teminal saat usiaku 10 tahun.
Keadaan yang sama saat kali kedua di hari yang sama pula, masih sepi.. bukan hanya wilayah bus, tapi juga wilayah teritorial angkot, berjajar puluhan angkot dengan jurusan yang berbeda tersaji dengan cepat ditemani dengan teriakan para makelar. Dan rasa letih yang mulai menemaniku, membuatku tidak sanggup berpikir panjang dan akhirnya aku putuskan untuk menumpang pada angkot jurusan terminal gadang.
10 menit, 20 menit, hingga akhirnya 30 menitan angkot menduduki tempat yang sama. Dan tiba-tiba nampak angkot bergeser, finally jalan juga ni angkot.. Dengan kecepatan wajar angkot pun melaju meninggalkan terminal, hingga ada salah satu penumpang yang menghentikan lajunya. Dan wow… saat penumpang itu turun, ada hal yang membuat serentak seluruh isi angkot terngangah..
Sang supir angkot mengharuskan penumpang itu buat merogoh koceknya lagi, karena bukan ruang sebesar 2500 rupiah yang harus disodorkan seperti biasa tapi nominal 3000 yang dilontarkan oleh sang supir. “Lho kok?” gumam seluruh penumpang dan sang supir hanya nyeletuk “iya mas, soalnya ini tadi antrian”.
Gampang banget pembelaannya, but mulai kapan kayak gini? Dan yang lebih parah ongkos antar terminal yang seharusnya udah ditetapin sama dinas perhubungan dan organda sebesar 2300 perak untuk rute jauh-dekat, membengkak jadi 5000 perak. Sejak kapan kayak gini? And siapa yang nentuin kayak gini?
Ualah ya udah lah.. bukan berarti karena uang segitu, bisa ribut panjang kan? Tapi buat pelajaran aja, bagi supir untuk lebih melihat sekelilingnya dan juga bagi penumpang untuk lebih selektif untuk memilih angkutan umum (gak ada salahnya juga jalan sedikit di ujung pintu keluar terminal, memilih angkot yang wajar aja, Ada untungnya kok selain ongkos normal, juga gak harus nunggu lama-lama). Sekali lagi, Cuma buat renungan aja…
There was friends are for…
Menatap lembayung di langit Bali
Dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai mengulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
Oh… cinta
Teman yang terhanyut arus waktu mekar mendewasa
Masih kusimpan semua suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
Hingga masih bisa kurangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Ow jingga
Hingga masih bisa kujangkau cahaya
Senyum yang mengalahkan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal keajaiban ini…
Ow mimpi…
Andai ada satu cara tuk kembali menatap agung suryamu
Lembayung Bali
Lembayung Bali
Oleh Saras Dewi
Mendengar kembali lirik lagu itu, memaksaku membuka memori beberapa tahun yang lalu saat pertama kali aku mengenal mereka dengan sikap, sifat mereka yang apa adanya. Dengan segalanya aku mengenal orang yang tak pernah aku sangka bakalan menjadi orang terdekatku, yang mampu ada disaat aku hanya cukup memanggil mereka dengan mata bathinku.
Yang selalu mau mendengarkan omelan, ngeliat muka masam yang aku tawarkan saat hatiku tidak untuk tersenyum, membuatkan garis senyum dengan ikhlas untukku, serta mereka yang selalu membantuku melihat apapun yang ingin kulihat.
Tiga setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk sekedar mengerti dan menerima kebiasaan orang lain, waktu yang cukup untuk bersabar menawarkan kebersamaan..
Sebuah memori kecil, ketika mereka menyeletuk…
“aku besok pakek apa ya?, pinjem ini, minta itu donk…”
Perihal yang kecil, namun sangat berkesan saat tiap kali diantara kita ribet dengan urusan masing-masing namun dapat dipastiin bakalan ada team sukses yang ada dibalik layar, entah untuk ngefiting baju, make up, promotor ngomong ato ntar yang Cuma nyediain tempat and tissue aja saat endingnya gak sesuai. Sesuatu yang kecil tapi ngangenin, kapan lagi harus membentuk lingkaran buat makan bareng, rebutan sendok, suruh-suruhan nyuci sendok and nuang air, ato berebut naek kapal nabi Nuh (he..he..), ribuet selalu telat berangkat kuliah, tugas mepet gak jelas, selalu ada shief buat ngurus KRS, cerita memori KKN yang gak abis-abis, foto-foto road d’campus, sampek ribet belanja kebaya and make up buat wisuda.. itulah teman, orang yang dengan tulus ngejalanin itu semua…
And it’s time.. bukan waktunya untuk mengakhiri, tapi it’s time to show for all.. bahwa teman nggak pernah tertindas oleh waktu.. Waktu yang tawarkan kebersamaan, tapi jangan pernah rela waktu juga merebut itu semua.
Langganan:
Postingan (Atom)